Jumat, 10 Januari 2014

MAKALAH FILSAFAT ILMU



MEMBANGUN FILSAFAT PENDIDIKAN MATEMATIKA


Mata Kuliah: Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Marsigit, M. A.




Disusun oleh:
Dewi Mardhiyana        (13709251043)




PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2014





MEMBANGUN FILSAFAT PENDIDIKAN MATEMATIKA
oleh Dewi Mardhiyana


A.    Pendahuluan
Filsafat merupakan ilmu yang mempelajari hakekat dari suatu objek yang mencakup ontologi, epistemologi dan aksiologi. Kajian ontologi menjawab apa sebenarnya objek yang kita pelajari. Kajian epistemologi mencakup metode atau tata cara dari objek yang kita pelajari. Sedangkan kajian aksiologi mencakup manfaat apa yang kita dapat dari suatu objek yang kita pelajari. Objek kajian filsafat tersebut meliputi segala yang ada dan yang mungkin ada.
Filsafat juga mempelajari dirinya sendiri. Filsafat mempelajari ontolologi, aksiologi dan epistemologi dari filsafat itu sendiri. Jadi filsafat mempelajari ontologinya ontologi, ontologinya aksiologi, ontologinya epistemologi, epistemologinya ontologi, epistemologinya epistemologi, epistemologinya aksiologi, aksiologinya ontologi, aksiologinya epistemologi dan aksiologinya aksiologi.
Filsafat mempelajari ontologinya ontologi, artinya filsafat mempelajari hakekatnya hakekat. Memikirkan tentang apa yang kita pikirkan atau biasa disebut dengan metafisik. Jika yang kita pikirkan satu maka monoisme, jika yang kita pikirkan dua maka dualisme, sedangkan jika yang kita pikirkan banyak maka pluralisme.
Filsafat mempelajari ontologinya epistemologi, artinya filsafat mempelajari hakekatnya metode. Apa sebenarnya metode yang kita gunakan itu. Misalnya sebuah tradisi suatu masyarakat tertentu, maka filsafat mempelajari arti dari sebuah tradisi tersebut. Dalam pernikahan orang Jawa ada adat tertentu yang harus dilaksanakan dalam sebuah acara pernikahan dan setiap tata cara tersebut memiliki makna. Selain tata cara dalam pernikahan yang penuh dengan makna, kesenian Jawa juga mempunyai berbagai makna, misalnya wayang kulit. Pada zaman dahulu wayang begitu populer di kalangan masyarakat Jawa, karena wayang merupakan salah satu hiburan rakyat yang penuh dengan makna, mulai dari tokoh-tokohnya sampai dengan cerita tentang pewayangan. Wayang merupakan sebuah metode yang digunakan untuk menyebarkan ajaran tertentu, sehingga para wali juga menggunakan media wayang sebagai salah satu cara berdakwah dalam menyebarkan ajaran agama Islam. Filsafat juga mengkaji mengenai hakekat wayang, maka filsafat mempelajari hakekatnya metode.
Filsafat mempelajari ontologinya aksiologi, artinya filsafat mempelajari hakekatnya manfaat. Apa sebenar-benar manfaat itu. Berbagai adat istiadat yang dilakukan pasti memiliki manfaat. Filsafat mempelajari berbagai manfaat dari adat istiadat tersebut. Sebagai contoh seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa wayang merupakan sebuah metode penyampaian pesan kepada masyarakat umum, sehingga wayang memiliki berbagai manfaat bagi masyarakat umum selain sebagai sarana hiburan, sehingga filsafat juga mempelajari hakekat dari berbagai manfaat wayang.
Filsafat mempelajari epistemologinya ontologi, artinya filsafat mempelajari metodenya hakekat. Untuk mempelajari hakekat dari suatu objek, dibutuhkan metode apa saja yang digunakan. Misalnya, kalau kita ingin mempelajari hakekat dari wayang, maka ada metode-metode tertentu yang bisa kita gunakan untuk mempelajarinya.
Filsafat mempelajari epistemologinya epistemologi, artinya filsafat mempelajari metodenya metode. Filsafat mempelajari bukti kebenaran dari kebenaran yang ada. Misalnya, dalam matematika kita mengenal 2+3=5, tetapi dalam filsafat 2+3 belum tentu 5, sehingga filsafat mempelajari bukti kebenaran dari 2+3 apakah benar-benar 5.
Filsafat mempelajari epistemologinya aksiologi, artinya filsafat mempelajari metodenya manfaat. Filsafat mempelajari sumbernya etik dan estetika. Misalnya untuk menilai suatu hal baik atau buruk, benar atau salah harus menggunakan dasar yang kuat.
Filsafat mempelajari aksiologinya ontologi, artinya filsafat mempelajari manfaatnya hakekat. Nilai dari suatu ontologi dipelajari dalam filsafat. Misalnya hakekat tentang ketuhanan. Ketika kita membicarakan hakekat nilai dari hakekat tentang ketuhanan, hendaknya berada di tempat yang sesuai dan bukan di sembarang tempat.
Filsafat mempelajari aksiologinya epistemologi, artinya filsafat mempelajari manfaatnya metode. Filsafat mengkaji baik buruknya sebuah metode yang digunakan. Misalnya, seperti fenomena yang terjadi akhir-akhir ini mengenai wayang yang dalangnya anak kecil. Filafat yang mengkaji mengenai baik atau buruknya dalang cilik, di mana fenomena dalang cilik hanya meniru kebiasaan, sebenarnya belum mengembangkan secara kritis. Dalang cilik hanya mencakup separo dunia, sedangkan separo dunia yang lain adalah pengalaman.
Filsafat mempelajari aksiologinya aksiologi, artinya filsafat mempelajari manfaatnya manfaat. Menilai manfaat dari hal-hal yang dinilai baik atau buruk. Setiap hal pasti memiliki sisi baik dan sisi buruk, dan setiap yang baik ataupun yang buruk mempunyai makna.
Begitu luasnya kajian filasafat, maka filsafat berperan penting dalam segala hal, misalnya dalam membangun dunia, membangun hidup, membangun pengetahuan dan membangun pendidikan matematika.

B.   Filsafat Membangun Dunia
Dunia filsafat merupakan dunia yang mengkaji tentang sesuatu yang ada dan mungkin ada. Oleh karena itu apa yang kita pikirkan dan tidak dapat dipikirkan itulah dunia. Apa yang di sekitar kita dan di luar lingkungan kita itulah dunia. Dunia memiliki karakteristik dari komponen-komponennya masing-masing, sebagai contoh dunia pendidikan, dunia mahasiswa, dunia sekolah, dunia kerja dan masih banyak lagi dunia yang dapat kita pikirkan. Dalam membangun dunia tersebut, pikiran kita harus dapat memasuki komponen yang ada pada dunia tersebut. Sehingga untuk membangun dunia dapat dilakukan dengan hukum “Aku” yaitu di dalam pikiran dan “Bukan Aku” yaitu di luar pikiran.
Dunia dapat berupa komponen sintesis dari anti-tesis dan tesis yang terkandung di dalamnya, sehingga identitas dan kontradiksi dapat membangun dunia karena identitas adalah tesis dan kontradiksi adalah anti-tesis. Jika kita ingin membangun dunia, maka bangunlah pikiran kita untuk memikirkan dunia itu. Dunia yang kita bangun pun bukan dunia pada level material tetapi dunia yang terlepas dari ruang dan waktu yaitu dunia yang meliputi dimensi material, formal, normatif dan spiritual. Dengan demikian, segala yang ada dan yang mungkin ada di dunia in menempati ruang dan waktunya masing-masing, di mana setiap unsur di dunia ini telah diciptakan secara seimbang. Akibatnya, jika separo dunia adalah ontologi maka separo dunia yang lain adalah tidak ontologi, jika separo dunia adalah epistemologi maka separo dunia yang lain adalah tidak epistemologi, jika separo dunia adalah aksiologi maka separo dunia yang lain adalah aksiologi, jika separo dunia adalah vatal maka separo dunia yang lain adalah fital, jika separo dunia adalah subjek maka separo dunia yang lain adalah predikat, jika separo dunia adalah logos maka separo dunia yang lain adalah mitos, jika separo dunia adalah filsafat maka separo dunia yang lain adalah penerapannya, jika separo dunia adalah matematika dan pendidikan matematika, maka separo dunia yang lain adalah penerapannya, jika separo dunia adalah apa yang kita pikirkan, maka separo dunia yang lain adalah apa yang kita lakukan.
Ontologi merupakan hakekat dari sesuatu, sehingga untuk memahami hakekat dari sebuah unsur maka kita perlu berfikir ekstensif dan intensif. Jika kita membentuk separo dunia dengan ekstensif maka separo dunia yang lain adalah tidak ekstensif dan jika kita membentuk separo dunia dengan intensif maka separo dunia yang lain adalah tidak intensif. Tidak ekstensif dan tidak ekstensif membangun dunia itulah yang tidak ontologi. Maka sebenar-benar membangun dunia ontologi hanya mencakup separo dunia, karena separo dunia yang lain adalah tidak ontologi.
Epistemologi adalah metode dalam mempelajari suatu unsur. Dalam mempelajari sesuatu terkadang ada sumber-sumber yang mendukung apa yang kita pelajari, tetapi tidak semua hal yang kita pelajari mempunyai sumber. Maka sebenar-benar membangun dunia epistemologi hanya mencakup separo dunia, karena separo dunia yang lain adalah tidak epistemologi.
Aksiologi merupakan manfaat dari sesuatu yang kita pelajari. Setiap hal yang kita pelajari pasti memiliki unsur baik atau tidak baik maupun benar atau salah. Untuk memahami bahwa separo dunia yang kita pelajari adalah aksiologi dan separo dunia yang lain adalah tidak aksiologi maka kita perlu mengkaji dari dunia-dunia yang lain. Misalnya ketika kita berbicara mengenai hakekat sebuah objek, maka kita akan bertemu bahwa hakekat objek tersebut mengandung unsur baik sekaligus buruk dan unsur benar sekaligus salah. Maka sebenar-benar membangun dunia aksiologi hanya mencakup separo dunia, karena separo dunia yang lain adalah tidak aksiologi.
Fatal dapat diartikan sebagai berserah sepenuhnya kepada nasib, sedangkan vital dapat diartikan sebagai hasil usaha. Ketika kita membangun dunia dengan fatal atau vital maka unsur-unsur yang lain akan membangun dunianya masing-masing. Misalnya ketika kita berbicara mengenai fatal dan vital, maka kita perlu memperhatikan bagaimana ontologi berbicara mengenai fatal dan vital, bagaimana epistemologi berbicara mengenai fatal dan vital, bagaimana aksiologi berbicara mengenai fatal dan vital. Maka sebenar-benar membangun dunia dengan fatal dan vital hanya mencakup separo dunia.
Dalam membangun bahwa dunia adalah bahasa, kita mengenal bahwa separo dunia yang kita pelajari adalah subjek dan separo dunia yang lain adalah predikat. Ketika kita berbicara mengenai subjek dan predikat, maka kita perlu memperhatikan bagaimana ontologi berbicara mengenai subjek dan predikat, bagaimana epistemologi berbicara mengenai subjek dan predikat, bagaimana aksiologi berbicara mengenai subjek dan predikat. Maka sebenar-benar membangun dunia dengan subjek dan predikat hanya mencakup separo dunia.
Ketika kita ingin membangun dunia dengan ilmu, maka kita akan berjumpa dengan logos dan mitos. Jarak antara logos dan mitos sangatlah dekat, sehingga kita harus berhati-hati dengan jebakan mitos, karena ketika kita merasa sudah memahami ilmu maka pada saat itulah kita berjumpa dengan mitos. Maka sebenar-benar dunia yang kita bangun tidak akan terlepas dari logos dan mitos. Jadi ketika kita ingin membangun dunia dengan ilmu, maka separo dari dunia adalah mitos dan separo yang lain adalah logos.
Dengan demikina, jika kita ingin membangun dunia dengan filsafat, maka sebenar-benar filsafat yang kita pelajari hanya mencakup separo dari dunia, dan separo dari dunia yang lain adalah penerapannya. Begitu pula jika kita ingin membangun dunia dengan matematika dan pendidikan matematika, maka sebenar-benar matematika dan pendidikan matematika yang kita pelajari hanya mencakup separo dari dunia, karena separo dari dunia yang lain adalah penerapannya.
Dalam menjalani hidup ini kita pasti mempunyai rencana-rencana untuk meraih tujuan hidup kita. Rencana itu lahir dari sebuah pemikiran. Tetapi tidak semua yang kita rencanakan akan berjalan seperti apa yang telah kita rencanakan, bahkan terkadang apa yang kita lakukan justru bertolak belakang dengan rencana awal kita. Maka sebenar-benar apa yang kita lakukan tidak mencakup semua yang kita rencanakan. Hal ini disebabkan karena pemikiran kita mencakup segala hal yang ada dan yang mungkin ada. Jadi untuk membangun dunia kita secara lengkap, maka kita harus mengharmonikan antara segala yang ada dan yang mungkin ada.

C.   Filsafat Membangun Hidup
Filsafat ilmu adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang olah pikir yang reflektif. Reflektif di sini artinya adalah kesadaran diri dan akal sehingga kita merefleksikan kesadaran diri kita sendiri dan akal kita. Jadi, filsafat adalah refleksi. Berfilsafat juga merupakan oleh pikir seorang profesional, karena filsafat menuntut kesadaran dalam multi dimensi. Seseorang yang berfilsafat harus berpikiran terbuka dan secara ikhlas bersiap diri sebagai pebelajar untuk selalu belajar dan belajar. Melalui kesediaan untuk selalu belajar dan belajar maka filsafat seseorang akan hidup atau berkembang. Selalu berkembang atau berubah adalah sebenar-benar hidup karena pada hakekatnya tidak ada sesuatupun di dunia ini yang tetap atau sama.
Belajar filsafat hakikatnya adalah membangun hidup. Persoalan hidup adalah persoalan universal. Persoalan hidup milik setiap orang. Jadi setiap yang hidup tentu memiliki persoalan. Belajar filsafat sesungguhnya untuk menjawab persoalan-persoalan dalam hidup, sehingga kita akan memiliki dorongan untuk memastikan bahwa kita benar-benar melakukan apa yang inginkan. Filsafat hidup juga dapat menentukan arah, membangkitkan kesadaran dan mengerakkan diri kita untuk membuat perencanaan-perencanaan guna merealisasikan sasaran. Hidup ini akan membimbing kita dalam menjalani kehidupan seperti yang kita inginkan dan butuhkan.
Bagi sebagian orang, filosofi hidup dapat dijadikan sebagai panutan hidup, agar seseorang dapat hidup dengan baik dan benar. Adapula sebagian orang yang tidak menghiraukan apa itu tujuan hidup dan filosofi hidup, sehingga ia hanya hidup mengikuti arus yang mengalir, dan sebagian orang lagi, terlalu kuat memegang tujuan hidup dan filosofi hidupnya sehingga membuat ia menjadi keras. Jadi, kesimpulannya ada 3 sifat manusia yang bisa ditinjau dari filosofi hidupnya, yaitu orang yang lemah, orang yang netral dan orang yang keras.
Orang yang lemah adalah orang yang tidak mempunyai tujuan hidup atau prinsip hidup. Ia tidak tahu untuk apa ia hidup, ia tidak berusaha mengetahui kebenaran di balik fenomena alam ini, sehingga terkadang baik dan buruk dapat dijalaninya. Orang yang netral adalah orang yang mempunyai tujuan dan prinsip hidup, tetapi tidak mengukuhinya dengan kuat. Ia berusaha mencari kebenaran hidup dan hidup dalam kebijakan dan kebenaran, ia bebas dan netral, tidak kurang dan tidak melampaui, karena ia berada di tengah-tengah. Sedangkan orang yang kuat adalah orang yang memegang kuat tujuan dan prinsip hidupnya, sehingga ia mampu melakukan apa saja demi tercapai tujuannya. Ia terikat oleh filosofinya, ia kuat dan kaku berada di atas pandangannya, ia merasa lebih unggul dari orang lain dan melebihi semua orang.
Sebuah filosofi hidup bisa didapatkan dari pemikir-pemikir jenius yang bijaksana, bebas dan terpelajar. Biasanya orang tersebut dianggap sebagai seorang filsuf atau pelopor kebijakan. Masing-masing negara memiliki tokoh filosofinya. Orang pertama yang memperkenalkan filsafat hidup ke dalam ilmu pengetahuan adalah orang Yunani yang kebetulan pada saat itu negaranya merupakan negara yang bebas dalam berkarya. Hal ini terbukti dengan banyaknya para filsuf terkenal yang kebanyakan berasal dari bangsa Yunani, seperti Socrates. Socrateslah yang paling banyak memberi pengaruh kepada dunia ilmu pengetahuan, sehingga dia disebut Bapak Filsafat. Menurutnya, jika seseorang tahu kebenaran yang mendasar tentang segala sesuatu, maka itulah inti pengetahuan.

D.   Filsafat Membangun Pengetahuan
Berfilsafat merupakan berpikir, sementara berfikir merupakan salah satu ciri penting yang membedakan manusia dengan hewan. Menurut J.M. Bochenski berfikir, adalah perkembangan ide dan konsep. Definisi ini nampak sangat sederhana namun substansinya cukup mendalam. Berfikir bukanlah kegiatan fisik namun merupakan kegiatan mental. Bila seseorang secara mental sedang mengikatkan diri dengan sesuatu dan sesuatu itu terus berjalan dalam ingatannya, maka orang tersebut bisa dikatakan sedang berfikir. Berarti berfikir merupakan upaya untuk mencapai pengetahuan. Upaya mengikatkan diri dengan sesuatu merupakan upaya untuk menjadikan sesuatu itu ada dalam diri seseorang, sehingga dengan berfikir manusia akan mampu memperoleh pengetahuan, dan dengan pengetahuan itu manusia menjadi lebih mampu untuk melanjutkan tugas kekhalifahannya di muka bumi serta mampu memposisikan diri lebih tinggi dibanding makhluk lainnya. Sementara itu, Partap Sing Mehra memberikan definisi berfikir sebagai usaha mencari sesuatu yang belum diketahui berdasarkan sesuatu yang sudah diketahui. Definisi ini mengindikasikan bahwa suatu kegiatan berfikir baru mungkin terjadi jika akal/pikiran seseorang telah mengetahui sesuatu, kemudian sesuatu itu dipergunakan untuk mengetahui sesuatu yang lain, di mana sesuatu yang diketahui itu bisa merupakan data, konsep atau sebuah ide, dan hal ini kemudian berkembang sehingga diperoleh sesuatu yang diketahui atau bisa juga disebut kesimpulan. Dengan demikian kedua definisi yang dikemukakan ahli tersebut pada dasarnya saling melengkapi. Berfikir merupakan upaya untuk memperoleh pengetahuan dan dengan pengetahuan tersebut proses berfikir dapat terus berlanjut guna memperoleh pengetahuan yang baru, dan proses itu tidak berhenti selama upaya pencarian pengetahuan terus dilakukan.
Menurut Jujun S Suriasumantri, pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang diketahui tentang objek tertentu, termasuk di dalamnya ilmu, Pengetahuan tentang objek selalu melibatkan dua unsur yakni unsur representasi tetap dan tak terlukiskan serta unsur penafsiran konsep yang menunjukan respon pemikiran. Unsur konsep disebut unsur formal, sedangkan unsur tetap adalah unsur material atau isi. Interaksi antara objek dengan subjek yang menafsirkan, menjadikan pemahaman subjek (manusia) atas objek menjadi jelas, terarah dan sistematis sehingga dapat membantu memecahkan berbagai masalah yang dihadapi. Pengetahuan tumbuh sejalan  dengan bertambahnya pengalaman, sehingga diperlukan informasi yang bermakna guna menggali pemikiran untuk menghadapi realitas dunia di mana seorang itu hidup.
Dengan demikian, berfikir dan pengetahuan bagi manusia merupakan instrumen penting untuk mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi dalam hidupnya di dunia, karena yang akan terjadi adalah kemusnahan manusia jika berpikir dan pengetahuan tidak ada. Untuk membangun pengetahuan, diperlukan konstruktivisme. Jika kita sebagai seorang yang menggeluti dunia pendidikan tetapi tidak mempelajari filsafat maka ilmu atau pengetahuan yang telah kita pelajari hanya berhenti di situ saja dalam membangun logosnya dan tidak bisa berkembang.

E.   Filsafat Membangun Pendidikan Matematika
Sebelum masuk pada konsep dari pendidikan matematika maka kita harus merujuk pada filsafatnya terlebih dahulu. Filsafat pendidikan matematika termasuk filsafat yang membahas proses pendidikan dalam bidang studi matematika. Pendidikan matematika adalah bidang studi yang mempelajari aspek-aspek sifat dasar dan sejarah matematika, psikologi belajar dan mengajar matematika, kurikulum matematika sekolah, baik pengembangan maupun penerapannya di kelas. Filsafat matematika membentuk filsafat pendidikan matematika, artinya bahwa filsafat pendidikan matematika didukung oleh filsafat matematika (Martin, 2009: 63). Oleh karena itu, antara filsafat matematika dan filsafat pendidikan matematika saling berkaitan sehingga untuk memahami bagaimana proses pembelajaran matematika, kurikulum pendidikan matematika dan pengembangannya, serta psikologi pendidikan matematika adalah dengan memahami filsafat matematika.
Menurut Ernest (1991: 1), filsafat matematika adalah cabang filsafat yang tugasnya adalah untuk merefleksikan sifat matematika. Filsafat matematika mencakup ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ontologi menyangkut hakekat matematika, apakah hakekat yang ada dibalik matematika. Epistemologi berkaitan dengan bagaimana cara menjawab pertanyaan mengenai matematika, cara memperoleh dan menangkap permasalahan dalam matematika. Sedangkan aksiologi menyangkut tentang nilai-nilai dalam matematika.
Secara ontologi, filsafat matematika membicarakan tentang hakekat matematika. Para filsuf matematika menguraikan hakekat matematika sesuai cara pandangnya masing-masing. Perbedaan pendapat para filsuf bukan  untuk mempertentangkan tetapi untuk saling melengkapi. Menurut Socrates matematika adalah pertanyaan, menurut Plato matematika adalah ide, menurut Aristoteles, matematika adalah pengalaman, menurut Descartes matematika adalah rasional, menurut Kant matematika adalah sintetik a priori, menurut Hegel matematika itu mensejarah, menurut Russell matematika adalah logika, menurut Wittgenstain matematika adalah bahasa, menurut Lakatos matematika adalah kesalahan, menurut Ernest matematika adalah pergaulan, dan menurut Mill matematika adalah ilmu empiris yang lahir dari pengalaman masa lalu. Selain tentang pengertian matematika, ontologis filsafat mengkaji hakekat dari obyek matematika itu. Menurut Plato obyek matematika adalah benda abstrak yang memiliki refleksi sempurna di dunia ini seperti segitiga dan bidang. Menurut Socrates obyek matematika adalah hasil abstraksi dari eksperimen atau percobaan, sehingga melalui interaksi dengan obyek atau benda riilnya kita dapat membangun atau membentuk konsep matematisnya.
Secara epistemologi, matematika pada hakekatnya selalu berusaha mengungkap kebenaran namun dalam sejarah panjangnya, sejak jaman Renaisance, aspek empiris dari matematika seperti yang dicanangkan oleh John Stuart Mill ternyata kurang mendapat prospek yang cerah. Matematika telah berkembang menjadi kegiatan abstraksi yang lebih tinggi di atas kejelasan pondasinya seperti yang terjadi pada kalkulus infinitas dan bilangan kompleks yang telah mengambil jarak dari pandangan kaum skeptik. Tetapi pada abad yang lalu, dengan ditemukannya kontradiksi pada Teori Himpunan, kaum skeptik dan empiris mulai menggaungkan lagi pandangan-pandangan tentang pondasi matematika. Kaum pondasionalis epistemologis berusaha meletakkan dasar pengetahuan matematika dan berusaha menjamin kepastian dan kebenaran matematika, untuk mengatasi kerancuan dan ketidakpastian dari pondasi matematika yang telah diletakkan sebelumnya. Perlu dikethaui bahwa di dalam kajian pondasi epistemologis matematika terdapat pandangan tentang epistemologi standar yang meliputi kajian tentang kebenaran, kepastian, universalisme, obyektivitas, rasionalitas, dan sebagainya. Menurut kaum pondasionalisme empiris, dasar dari pengetahuan adalah lebih dari kebenaran yang diperoleh dari hukum sebab-akibat dari pada diturunkan dari argumen-argumennya.
Munculnya Teori Pengetahuan dari Immanuel Kant, sebagai landasan epistemologis dari pengetahuan, dipengaruhi oleh dua aliran epistemologi yang masing-masing berakar pada pondasi empiris dan pondasi rasionalis. Menurut kaum pondasionalis empiris, terdapat unsur dasar pengetahuan di mana nilai kebenarannya lebih dihasilkan oleh hukum sebab-akibat dari pada dihasilkan oleh argumen-argumennya sehingga mereka percaya bahwa keberadaan dari kebenaran tersebut disebabkan oleh asumsi bahwa obyek dari pernyataan yang membawa nilai kebenaran itu. Sementara kaum pondasionalis rasionalis berusaha mencari sumber dari kegiatan berpikir, yaitu kegiatan di mana kita dapat menemukan ide dasar dan kebenaran. Kegiatan tersebut tidak hanya menghasilkan pondasi yang dicari dari pengetahuan tetapi juga memberikan kepastian epistemologis, yaitu suatu keadaan yang pasti dan dengan sendirinya benar. Dasar dari ide dan putusan bersifat pasti karena dihasilkan dari suatu aktivitas yang terang dan jelas sebagai prasyarat diperolehnya putusan yang dapat diturunkan menjadi putusan-putusan yang lainnya.
Berkaitan dengan masalah tersebut, di dalam Teori Pengetahuannya, Immanuel Kant berusaha meletakkan dasar epistemologis bagi matematika untuk menjamin bahwa matematika memang benar dapat dipandang sebagai ilmu. Kant menyatakan bahwa metode yang benar untuk memperoleh kebenaran matematika adalah memperlakukan matematika sebagai pengetahuan a priori. Menurut Kant, secara spesifik, validitas obyektif dari pengetahuan matematika diperoleh melalui bentuk a priori dari sensibilitas kita yang memungkinkan diperolehnya dari pengalaman indrawi.
Kajian aksiologis mempelajari filosofis hakekat nilai atau value dari matematika. Menurut Hartman, nilai adalah fenomena atau konsep, di mana nilai sesuatu ditentukan oleh sejauh mana fenomena atau konsep itu sampai kepada makna atau arti. Menurutnya, nilai matematika paling sedikit memuat empat dimensi, yaitu matematika mempunyai nilai karena maknanya, matematika mempunyai nilai karena keunikannya, matematika mempunyai nilai karena tujuannya, dan matematika mempunyai nilai karena fungsinya. Tiap-tiap dimensi nilai matematika tersebut selalu terkait dengan sifat nilai yang bersifat intrinsik, ekstrinsik atau sistemik. Jika seseorang menguasai matematika hanya untuk dirinya maka pengetahuan matematikanya bersifat intrinsik; jika dia bisa menerapkan matematika untuk kehidupan sehari-hari maka pengetahuan matematika bersifat ekstrinsik; dan jika dia dapat mengembangkan matematika dalam kancah pergaulan masyarakat matematika maka pengetahuan matematikanya bersifat sistemik.
Nilai matematika yang dapat diperoleh dari filsafat matematika adalah bahwa matematika adalah suatu ide yang membantu kita memecahkan masalah. Pemecahan masalah tersebut dapat kita mulai dengan membuat masalah tersebut sebagai pertanyaan yang harus dijawab. Masalah-masalah yang ada tersebut merupakan masalahku sehingga pemecahannya adalah menggunakan pikiranku dan pengalamanku.
Oleh karena itu, untuk membangun dunia matematika harus dilakukan dengan metode berfikir intensif dan ekstensif. Metode berfikir intensif adalah metode berfikir yang sedalam-dalamnya, sehingga tidak ada metode berfikir lain yang mampu berfikir lebih dalam selain menggunakan metode ini. Sedangkan metode berfikir ekstensif adalah metode berfikir yang seluas-luasnya, sehingga tidak ada metode berfikir lain yang dapat digunakan untuk berfikir luas melebihi metode ini.
Menurut Ernest, matematika adalah pengetahuan yang dibangun (mathematical knowledge is constructed) bukan ditemukan (discovered). Matematika sebagai ilmu adalah matematika yang utuh dalam sistem maupun strukturnya yang deduktif aksiomatik. Artinya kebenaran matematika didapatkan dengan menggunakan penalaran deduktif kemudian disusun rangkaian kebenaran konsistensi yang menuju kepada kesimpulan akhir. Filsafat matematika Ernest didasarkan pada asumsi bahwa kebenaran matematika tidak pernah sama sekali pasti. Selanjutnya Ernest dalam Martin (2009) menyatakan bahwa faktor paling penting dalam penerimaan masalah yang diusulkan dari pengetahuan matematika adalah buktinya. Menekankan pada reduksi formal, menjadi proses yang dipusatkan pada pembuktian. Pembuktian adalah teks naratif, yang juga bagian dari percakapan atau dialog yang berkelanjutan, sebab mengasumsikan sebuah respon (Martin, 2009).
Pada awal perkembangannya matematika merupakan alat untuk menyelesaikan masalah kesulitan hidup sehari-hari melalui objek-objek alam nyata yang ada di lingkungan sekitar. Kemudian matematika berkembang melalui abstraksi dan idealisasi menjadi sebuah ilmu. Matematika sebagai ilmu yang dibangun lebih merupakan proses sosial dibandingkan proses individual. Hal ini dikarenakan: (1) pemikiran individual mengenai kesulitan-kesulitan awal yang muncul akan dibentuk dengan komunikasi atau percakapan, (2) seluruh pemikiran individual yang selanjutnya dibentuk oleh pemikiran sosial, dan (3) fungsi-fungsi mental adalah kolektif (misalnya kelompok pemecahan masalah). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa seluruh proses berfikir dan belajar dibentuk oleh pengalaman sosial yang dialami oleh setiap individu. Untuk membawa pengalaman sosial yang bermakna dalam suatu pembelajaran, maka guru harus bisa memfasilitasi kegiatan pembelajaran tersebut sesuai dengan kebutuhan siswa. Seperti yang diungkapkan Hoyles in Grouws and Cooney (Marsigit, 2009), mengajar matematika adalah tentang bagaimana guru memfasilitasi proses belajar dari siswa dan juga memberikan pengajaran yang baik yang merupakan kombinasi dari kompetisi subjek, strategi dan gaya mengajar yang fleksibel, serta fokus pada emosional dan sosial sebagai kebutuhan kognitif siswa.
Filsafat pendidikan matematika menurut Ernest (Martin, 2009) mencakup tiga hal, yaitu: (1) tujuan dan nilai pendidikan matematika, (2) teori belajar, dan (3) teori mengajar.
(1)   Tujuan dan Nilai Pendidikan Matematika
Tujuan pendidikan matematika hendaknya mencakup keadilan sosial melalui pengembangan demokrasi pemikiran kritis dalam matematika. Siswa seharusnya mengembangkan kemampuan yang mereka miliki untuk menganalisis masalah matematika. Pendidikan matematika hendaknya dapat menguatkan siswa, agar siswa mampu berfikir matematika dalam kehidupan sehari-hari serta mampu menggunakannya sebagai praktik penerapan matematika. Menguatkan siswa dalam matematika memiliki tiga dimensi, yaitu: (1) siswa memiliki kemampuan matematika, (2) siswa memiliki kemampuan untuk menggunakan matematika dalam kehidupan sehari-hari, dan (3) siswa percaya akan kemampuan mereka.
Kemampuan siswa yang ditumbuhkan dalam mempelajari matematika terutama matematika sekolah terdiri atas bagian-bagian matematika yang dipilih guna menumbuh kembangkan kemampuan-kemampuan dan membentuk pribadi serta berpandu kepada perkembangan IPTEK. Bagian-bagian tersebut terdiri dari objek-objek pembelajaran matematika sekolah baik berupa objek langsung maupun objek tak langsung. Objek langsung terdiri dari fakta, konsep, prinsip, dan ketrampilan. Sedangkan objek tak langsung terdiri dari disiplin diri, kemahiran matematika, apresiasi terhadap matematika, dan berpikir secara matematika, yaitu logis, rasional, dan eksak.
(2)   Teori Belajar
Teori belajar yang dimaksud di sini menggambarkan bahwa siswa perlu secara aktif menggunakan matematika dengan tujuan untuk mempelajarinya. Konsep matematika saling berhubungan, sehingga siswa perlu memahami sebuah konsep awal sebelum mempelajari topik selanjutnya. Oleh karena itu, dalam mempelajari matematika siswa harus memiliki pengalaman membangun dan menyerap konsep matematika dengan menemukan hubungan atau menguji ide dalam konteks yang baru. Dalam proses ini hal yang terpenting adalah komunikasi. Bahasa merupakan alat dalam berpikir, sehingga dialog diperlukan untuk membangun pengetahuan matematika yang subjektif. Komunikasi dan interaksi juga membawa siswa untuk membandingkan ide dan menguji validitasnya. Karena matematika adalah pengetahuan yang dibangun, maka akan timbul perbedaan bangunan matematika antara siswa yang satu dengan siswa yang lain. Belajar juga dipengaruhi oleh lingkungan ruang kelas. Konteks ruang kelas ditentukan oleh beberapa komponen, termasuk maksud dan tujuan kelas, keterlibatan siswa dan hubungan mereka, percakapan dalam kelas, dan ketersediaan sumber materi. Maksud dan tujuan kelas mencakup hal yang berkaitan dengan guru, orang tua, TU, dewan pengurus sekolah dan lain sebagainya. Tujuan guru dan tekanan untuk memenuhi yang ada padanya mempengaruhi cara pandang guru terhadap tanggung jawab, bagaimana guru merencanakan kegiatan kelas dan aspek lain dalam konteks sosial. Kontek sosial yang penting dalam percakapan di kelas dibentuk oleh interaksi personal dalam kelas tersebut, yang ditentukan oleh gaya guru dalam memanajemen kelas, gaya komunikasi antara guru dan siswa, konten matematika, dan tugas-tugas tertulis (Martin, 2009)
(3)   Teori Mengajar
Ada beberapa paham yang terkait dengan pendidikan matematika, di antaranya adalah paham realisme dan idealisme. Menurut paham realisme, siswa dipandang sebagai organisme hidup yang dapat melalui pengalaman indrawi dan menangkap apa yang terjadi sebagai realitas. Siswa adalah orang yang dapat melihat, merasa, dan mengecap, sehingga siswa dapat mengetahui dunia ini melalui indranya. Dalam metode pengajarannya, jika kebenaran dicapai melalui indrawi, maka pengalaman-pengalaman belajar harus diorganisir pada tingkat luas dalam suatu cara yang memanfaatkan indra-indra. Sedangkan menurut paham idealisme, fokusnya adalah mental dari siswa serta inteleknya. Di sekolah penganut idealisme, guru menempati posisi yang sangat krusial, sebab gurulah yang memfasilitasi murid. Jika dalam idealisme kebenaran merupakan ide gagasan, maka kurikulum harus disusun di seputar materi-materi kajian yang mengantarkan siswa bergelut langsung dengan ide gagasan.
Lebih lanjut, Kant menyatakan bahwa matematika harus dipahami dan dikonstruksi menggunakan intuisi murni, yaitu intuisi ruang dan waktu, sehingga siswa membutuhkan intuisi dalam mengkonstruksi matematika. Oleh karena itu, kita harus memahami terlebih dahulu hakikat siswa itu sendiri. Siswa adalah makhluk sosial yang memerlukan bantuan orang lain. Hakikat siswa adalah bersifat hidup sehingga siswa adalah subjek belajar yang ingin membangun hidupnya. Dengan melihat pandangan filosofi yang mengkaji secara mendalam terkait dengan pendidikan matematika, maka pertanyaan-pertanyaan yang menjadi permasalahan dalam pendidikan matematika dapat terjawab.
Filsafat pendidikan matematika (Ernest, 1991) adalah inti dari seperangkat maksud dan tujuan dari pendidikan matematika serta teori dari belajar dan mengajar matematika. Social constuctivism dari Ernest (Wilding, 2009) mencakup filsafat pendidikan matematika yang menggabungkan filsafat matematika, teori belajar-mengajar, dan satu kesatuan tertentu dari tujuan demokrasi untuk pendidikan matematika. Anak-anak tidak akan pernah mengembangkan pemikiran operasional formal tanpa bantuan orang lain. Menurut kaum Social constuctivism yang dipelopori oleh Paul Ernest, siswa merupakan makhluk sosial dan mempunyai kemampuan untuk membangun pengetahuan. Oleh karena itu, hal penting yang terdapat dalam lingkup pendidikan matematika adalah intuisi matematika siswa serta social constructivism. Siswa memerlukan bantuan dalam mengkonstruksi pengetahuannya, dan intuisi sangat dibutuhkan dalam mengkonstruksi pengetahuaanya.
Dari penjabaran mengenai konsep-konsep serta filsafat pendidikan matematika jika kita bandingkan dengan fakta yang terjadi di lapangan, maka banyak praktek pembelajaran yang dilakukan dengan memandang pada kepraktisannya demi mengejar materi yang telah ditetapkan pemerintah dalam kurikulum. Kemudian, kurangnya inovasi-inovasi pembelajaran yang dilakukan terkait dengan efisiensi waktu tetapi kurang memperhatikan keefektifannya justru menghambat proses pembelajaran, karena pembelajaran matematika yang seharusnya adalah memperhatikan bahwa siswa merupakan subjek belajar yang aktif dalam membangun pemahaman mereka sendiri dari konsep-konsep. Siswa juga memiliki intuisi dan mampu berpikir melalui pengalaman belajarnya. Melalui intuisi, siswa dapat mengkonstruksi pengetahuan mereka secara mandiri. Melalui social constructivism, siswa juga akan belajar dengan baik ketika mereka bekerja sama dan mengembangkan pemahaman melalui pengalaman sebelumnya. Oleh karena itu, intuisi siswa dalam matematika harus terus dijaga dan terus dikembangkan melalui pengalaman-pengalaman pembelajaran yang bermakna agar proses berpikir kreatif siswa juga semakin berkembang. Selain itu, social constructivism juga dapat menciptakan lingkungan matematika yang berpusat pada siswa, kemandirian, dan aktif. Proses belajar seperti inilah yang diperlukan untuk membangun pengetahuan dan pemecahan masalah matematika.

F.    Simpulan
Filsafat pada dasarnya adalah kehidupan. Kita juga mengetahui bahwa filsafat adalah kegiatan olah pikir, maka dalam memikirkan filsafat kita juga memikirkan kehidupan. Filsafat adalah olah pikir yang reflektif, sehingga dua hal pokok dalam hidup berfilsafat yaitu pikiran dan pengalaman, di mana kedua hal tersebut selalu terkait.
Objek filsafat adalah meliputi segala yang ada dan yang mungkin ada. Yang mungkin ada dicari melalui pikiran kita. Jadi hidup ini adalah proses mengubah yang mungkin ada menjadi ada. Karena filsafat tidak bisa lepas dari lingkup kehidupan, maka mempelajari filsafat itu penting, termasuk mempelajari filsafat pendidikan matematika.
Filsafat pendidikan matematika mencakup tiga hal yaitu: tujuan dan nilai pendidikan matematika, teori belajar, teori mengajar. Filsafat pendidikan matematika menyatakan bahwa posisi filsafat yang berbeda akan berbeda secara signifikan terhadap implikasi pendidikan. Konsep mengajar dan belajar matematika (khususnya: maksud dan tujuan, silabus, buku teks, kurikulum, metode mengajar, prinsip mendidik, teori belajar, penelitian pendidikan matematika, konsepsi guru terhadap matematika, dan pengajaran matematika yang memahami persepsi siswa) akan terbawa dengan sendirinya dari pandangan filosofis dan epistemologis terhadap matematika. Pandangan yang lebih umum mengenai filsafat pendidikan matematika memiliki tujuan untuk memperjelas dan menjawab pertanyaan tentang status dan pondasi (foundation) dari objek dan metode pendidikan matematika. Secara ontologi menjelaskan mengenai sifat dasar dari masing-masing komponen pendidikan matematika, secara epistimologi menjelaskan apakah semua penyataan yang berarti dalam pendidikan matematika mempunyai tujuan dan menentukan kebenaran, dan secara aksiologi menjelaskan mengenai manfaat atau nilai yang terkandung dalam pendidikan matematika (Marsigit, 2009).
Oleh karena itu, pendidikan matematika harus memperhatikan filsafat pendidikan matematika karena pendidikan matematika tidak akan berhasil jika filsafat tidak berperan di dalamnya. Sudah saatnya guru matematika menguasai filsafat pendidikan matematika sehingga dapat merubah pandangan mereka tentang pendidikan yang sekarang sudah berubah paradigmanya. Upaya yang bisa dilakukan adalah dengan mengubah pandangan tentang paradigma pendidikan lama dan menggantikannya dengan paradigma pendidikan baru dengan lebih menekankan aspek filsafat dalam pendidikan matematika sehingga pembelajaran matematika akan mencapai tujuan yang diinginkan.
Pendidikan matematika memang merupakan proses sosial sedangkan siswa bersifat hidup yang membutuhkan pendidikan untuk membangun hidupnya sehingga siswa membutuhkan proses pengkonstruksian pengetahuannya sendiri. Melalui proses sosial siswa dapat mengkonstruksi pengetahuannya dan untuk mengkonstruksi pengetahuannya siswa memerlukan intuisi. Oleh karenanya, pendidikan matematika harus membantu perkembangan konstruksi pengetahuan melalui keterkaitan aktif dan interaksi siswa serta dapat mengembangkan intuisi matematika siswa. Namun, pada hakikatnya semua yang ada dan yang mungkin ada memiliki berbagai macam dimensi, termasuk intuisi. Intuisi juga berdimensi dan berasal dari mana saja, sehingga dalam proses mengkonstruksi pengetahuan guru harus memfasilitasi siswa sehingga intuisi yang dimiliki siswa dapat digunakan dengan baik.
Agar pembelajaran matematika dapat memenuhi tuntutan inovasi pendidikan pada umumnya, Ebbutt dan Straker (1995) dalam Marsigit, mendefinisikan matematika sekolah yang selanjutnya disebut sebagai matematika, sebagai berikut: (1) matematika sebagai kegiatan penelusuran pola dan hubungan, (2) matematika sebagai kreativitas yang memerlukan imajinasi, intuisi dan penemuan, (3) matematika sebagai kegiatan pemecahan masalah (problem solving), dan (4) matematika sebagai alat berkomunikasi.

G.   Daftar Pustaka
Ernest, Paul. (1991). The Philosophy of Mathematics Education (Studies in Mathematics Education).  Taylor & Francis Group. [Online]. Tersedia : http://p4mriunpat.files.wordpress.com/2011/10/the-philosophy-of-mathematics-education-studies-in-mathematicseducation.pdf diakses tanggal 5 desember 2013.


Jujun Suparjan Suriasumantri. 2009. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Kattsoff, Louis. O. 2004. Pengantar Filsafat. Yogyakarta : Tiara Wacana

Marsigit. 2009. Philosopy of Mathematics Education. Modul Mata Kuliah Filsafat Ilmu. Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta. [Online]. Tersedia: www.staff.uny.ac.id

Martin, W. 2009. Paul Ernest's Social Constructivist Philosophy of Mathematics Education. Disertasi University of Illinois at Urbana Champaign.[Online]. Tersedia: www.search.proquest.com diakses tanggal 5 desember 2013.

Suparno, P. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Kanisius, Yogyakarta

Rekaman perkuliahan Filsafat Ilmu dengan dosen pengampu Prof. Dr. Marsigit, M.A.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar